ULASAN FILM

Tom Hardy Ngamuk Lagi! “Havoc” Bawa Aksi Sadis dan Cerita Kelam


menit

menit

/

Setelah penantian panjang, akhirnya film aksi-thriller Havoc garapan Gareth Evans resmi tayang di Netflix pada 25 April 2025. Film ini menandai kembalinya Evans ke dunia aksi brutal setelah sukses dengan The Raid, dan kali ini ia menggandeng Tom Hardy sebagai pemeran utama. Dengan durasi 107 menit, Havoc menyajikan kisah penuh kekerasan, korupsi, dan pencarian penebusan di tengah kota yang dilanda kekacauan.

Havoc mengisahkan Patrick Walker (Tom Hardy), seorang detektif pembunuhan yang hidupnya kacau dan jauh dari keluarga. Ketika Charlie, anak dari taipan sekaligus calon walikota Lawrence Beaumont (Forest Whitaker), terlibat dalam pembunuhan bos Triad bernama Tsui, Walker ditugaskan untuk menemukan Charlie dan membersihkan kekacauan yang bisa menghancurkan reputasi Lawrence. Tapi misi ini jauh dari mudah—kekacauan narkoba, pengkhianatan, dan persekongkolan polisi korup menjadi penghalang besar.

Charlie dan pacarnya Mia awalnya cuma berniat mencuri mesin cuci untuk dijual, tapi tanpa sengaja mereka malah mencuri kokain milik Triad. Ketika Tsui dibunuh oleh sekelompok penyerang bertopeng—yang ternyata adalah kaki tangan Vincent, polisi narkoba korup—semuanya langsung meledak. Charlie dan Mia diburu, dan Walker semakin dalam terseret ke dalam jaring korupsi dan kekerasan yang tak ada ujungnya. Sementara itu, Ellie (Jessie Mei Li), rekan Walker, mulai mencium bahwa kasus ini jauh lebih dalam dan kotor dari yang mereka kira.

Dalam babak akhir yang penuh ketegangan, semua pihak saling berhadapan: Walker melawan Vincent dan Ching dalam aksi berdarah yang brutal, sementara “Mother”, ibu dari Tsui yang memimpin cabang Triad lainnya, datang menuntut balas atas kematian anaknya. Akhirnya, Walker yang luka parah menyerahkan kesempatan hidup kepada Charlie dan Mia. Ellie membiarkan mereka kabur, memilih memberi mereka kesempatan baru daripada melanggengkan lingkaran kekerasan.

Salah satu daya tarik utama Havoc adalah adegan aksinya yang beneran brutal dan intens. Koreografi pertarungannya bukan cuma keren, tapi juga berasa nyata. Evans tetap mempertahankan ciri khasnya dari The Raid, tapi di sini lebih dewasa dan emosional. Pukulan nggak sekadar untuk gaya, tapi benar-benar menyampaikan rasa putus asa dan amarah karakter. Setiap adegan aksi terlihat kotor, dekat, dan personal—bukan seperti tontonan superhero, tapi kayak kamu lagi nonton dokumenter kekacauan di jalanan malam.

Kalau dibandingkan dengan John Wick, aksi di Havoc lebih grounded. Kalau John Wick penuh gaya dan koreografi yang rapi kayak tarian maut, maka Havoc terasa lebih kacau dan mentah—lebih mirip perkelahian nyata di gang sempit, dengan tangan kosong, benda tajam, bahkan pipa besi. Koreografinya nggak glamor, tapi sangat visceral. Dan kalau kamu pernah nonton The Raid, kamu akan nemu vibe yang serupa, tapi dengan nuansa yang lebih kelam dan berlapis-lapis secara emosional.

Tom Hardy tampil gahar tapi tetap manusiawi sebagai Patrick Walker. Dia bukan pahlawan sempurna, tapi seseorang yang mencoba tetap waras di tengah kehancuran. Jessie Mei Li sebagai Ellie juga jadi angin segar, memberikan kontras yang lembut tapi kuat terhadap dunia gelap yang mereka hadapi. Forest Whitaker meski tidak terlalu banyak tampil, memberikan bobot emosional di setiap adegannya.

Secara visual, Havoc juga tampil solid. Penggunaan lighting kontras, warna-warna dingin, dan suasana kota yang suram bikin film ini punya estetika sendiri. Ditambah dengan scoring dari Aria Prayogi, setiap adegan penting punya tekanan emosional yang kuat. Suasana terasa intens dari awal sampai akhir, dan pacing-nya jarang bikin bosan.

Havoc sering dibandingkan dengan John Wick, The Raid, dan bahkan film-film aksi klasik dari Hong Kong seperti Hard Boiled. Tapi meskipun semua film itu punya gaya aksi keren, Havoc punya pendekatan yang lebih gelap dan realistis. Kalau John Wick penuh koreografi stylish dan senjata modern, Havoc lebih banyak aksi tangan kosong dengan koreografi yang kasar dan brutal, mirip The Raid tapi dengan cerita yang lebih terhubung ke masalah sosial dan politik kota.

Evans jelas terinspirasi dari sinema Asia, tapi ia mengadaptasinya ke dalam konteks barat dengan baik. Tidak seperti The Raid yang fokus pada aksi nonstop di satu lokasi, Havoc menyebar konfliknya ke seluruh penjuru kota, membangun dunia yang lebih kompleks dan melibatkan banyak pihak dengan motivasi berbeda.

Havoc bukan cuma film aksi biasa. Di balik pukulan dan peluru yang beterbangan, ada cerita tentang manusia yang hancur, sistem yang korup, dan harapan yang sulit dipertahankan. Gareth Evans kembali membuktikan dirinya sebagai master di genre aksi-thriller dengan film yang bukan hanya seru, tapi juga punya kedalaman emosional.

Kalau kamu penggemar film aksi yang serius, penuh darah tapi juga punya cerita kuat, Havoc adalah pilihan yang wajib ditonton. Gaya penyutradaraannya matang, aktingnya solid, dan koreografi pertarungannya bikin adrenalin naik. Singkatnya: ini adalah kekacauan yang layak kamu nikmati.


Anda mungkin suka:


Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *