Bayangin kamu lagi duduk manis di restoran mewah, lagi kencan sama cowok yang keliatannya sempurna dan memberanikan diri buat buka hati setelah trauma masa lalu. Tapi tiba-tiba, ponsel kamu bunyi. Bukan notifikasi lucu atau pesan dari sahabat, tapi sebuah ancaman: “Kalau kamu nggak nurut, anak kamu mati.” Inilah yang dialami Violet Gates di film Drop (2025), sebuah thriller psikologis modern yang ngebawa penonton ke dalam mimpi buruk digital yang menyesakkan.
Disutradarai oleh Christopher Landon yang sebelumnya sukses lewat Happy Death Day dan Freaky, Drop jadi gebrakan baru dalam genre thriller dengan cara yang jauh lebih serius dan emosional. Film ini juga diproduseri oleh Michael Bay dan Jason Blum, dua nama besar yang biasanya menghasilkan film-film intens, dan Drop bukan pengecualian.
Ceritanya fokus ke Violet Gates, seorang terapis dan ibu tunggal yang memutuskan buat balik lagi ke dunia kencan setelah sekian lama hidup dalam bayang-bayang trauma akibat pernikahannya yang abusif. Violet bertemu dengan Henry Campbell, seorang fotografer yang tampan dan tampak ideal banget. Mereka kencan di sebuah restoran rooftop mewah di Chicago, tempat yang seharusnya jadi latar kisah cinta baru.
Tapi semuanya berubah dalam hitungan menit. Violet mulai nerima pesan misterius dari aplikasi DigiDrop—pesan yang nggak sekadar aneh, tapi mengancam langsung keselamatan orang-orang terdekatnya. Lewat kamera rumahnya, Violet melihat adiknya, Jen, diserang dan anaknya, Toby, dikunci di kamar. Pelaku, yang nggak kelihatan identitasnya, memaksa Violet menuruti semua perintah lewat ponsel, atau keluarganya akan dibunuh. Violet nggak boleh bilang apa pun ke siapa pun, termasuk Henry, yang duduk tepat di depannya.
Instruksi-instruksi makin gila. Violet harus ngambil kamera dari tas Henry dan ngancurin kartu memorinya. Ternyata, Henry punya bukti besar tentang skandal korupsi yang melibatkan pejabat kota. Setelah itu, Violet disuruh meracuni Henry pakai vial kecil yang disembunyikan di kamar mandi restoran. Violet juga sempat nyoba minta bantuan dengan nyelipin catatan ke pianis restoran, Phil. Tapi Phil tiba-tiba tumbang dan mati di tempat—kemungkinan besar udah diracuni. Dari situ, Violet sadar bahwa semuanya udah direncanain dengan sangat rapi, dan setiap langkahnya diawasi ketat.
Yang bikin film ini menarik adalah cara Drop memainkan rasa takut kita terhadap teknologi. Ancaman di sini nggak datang dari makhluk gaib atau pembunuh bersenjata, tapi dari perangkat yang kita pakai setiap hari—ponsel, aplikasi, kamera, dan sistem keamanan rumah. Semuanya jadi senjata yang bisa digunakan buat meneror. Rasanya sangat dekat dengan kehidupan nyata, apalagi di era digital kayak sekarang.
Lokasi film yang terbatas di dalam restoran juga jadi kekuatan tersendiri. Meski ruang geraknya sempit, film ini tetap berhasil menciptakan ketegangan yang makin menyesakkan. Restoran yang awalnya tampak elegan berubah jadi tempat yang penuh bahaya, di mana siapa pun bisa jadi musuh. Bahkan pelayan atau tamu lain terasa mencurigakan karena kamu tahu bahwa Violet nggak bisa percaya siapa pun.
Aksi Meghann Fahy sebagai Violet juga layak diacungi jempol. Dia berhasil tampil meyakinkan sebagai wanita yang ketakutan, bingung, tapi tetap kuat dan cerdas. Emosinya terasa mentah, real, dan bikin kamu sebagai penonton ikut tegang sepanjang waktu. Brandon Sklenar sebagai Henry juga ngasih nuansa yang menarik—cowok yang tampaknya sempurna tapi ternyata nyimpen rahasia besar. Interaksi mereka yang makin awkward dan penuh kecurigaan bikin suasana makan malam itu jadi kayak bom waktu yang siap meledak kapan aja.
Salah satu hal menarik lainnya adalah bagaimana Drop nyelipin isu-isu sosial tanpa terasa menggurui. Film ini ngangkat soal kekerasan dalam rumah tangga, dampak trauma, dan pentingnya kepercayaan dalam hubungan. Tapi semua itu dimasukkan dengan cara yang halus dan kontekstual, bukan lewat ceramah.
Kalau dibandingin dengan film lain, Drop punya vibe yang mirip dengan Phone Booth (2002) dan Red Eye (2005). Ketiganya sama-sama ngejebak karakter utama di satu lokasi dengan waktu yang terbatas, dan tekanan yang terus naik. Tapi Drop punya sentuhan modern lewat teknologi dan narasi yang lebih emosional. Ini juga beda dengan film-film sebelumnya karya Landon, yang cenderung ada unsur horor komedi. Kali ini, dia bener-bener serius, dan hasilnya? Coba tonton sendiri ya.
Film ini punya durasi yang relatif singkat, cuma sekitar 95 menit, tapi berhasil menyampaikan semua elemennya dengan padat dan efisien. Nggak ada momen yang terbuang sia-sia. Setiap adegan punya tujuan dan bikin deg-degan. Ceritanya sebetulnya klise—tentang orang biasa yang tiba-tiba terjebak dalam konspirasi besar dan harus bertindak cepat demi menyelamatkan orang yang dicintainya. Tapi Drop berhasil menemukan plot yang tepat, ngebungkus cerita klasik itu dengan kemasan modern dan relevan. Bahkan ending-nya pun cukup memuaskan dan bikin kamu mikir soal seberapa banyak kendali yang kita kasih ke teknologi dalam hidup kita.
Kesimpulannya, Drop adalah film thriller yang relevan, intens, dan emosional. Nggak butuh banyak aksi atau efek bombastis buat bikin penonton terpaku. Cukup dengan skrip yang cerdas, akting solid, dan penyutradaraan yang tajam, film ini berhasil jadi pengalaman nonton yang menegangkan dari awal sampai akhir. Kalau kamu suka film yang bikin detak jantung naik dan penuh teka-teki, Drop jelas wajib ditonton.




Leave a Reply