ULASAN FILM

Pertarungan Pemikiran: Eksistensi Tuhan dalam “Freud’s Last Session”


menit

menit

/

Di tengah dunia yang terus bergulat dengan pertanyaan tentang iman, sains, dan eksistensi, film “Freud’s Last Session” (2023) hadir sebagai refleksi mendalam yang relevan dengan dinamika kontemporer. Ketika masyarakat modern dihadapkan pada perdebatan antara rasionalitas ilmiah dan keyakinan spiritual, karya ini menawarkan perspektif historis melalui dialog imajiner antara dua raksasa intelektual abad ke-20: Sigmund Freud dan C.S. Lewis.

Berlatar pada malam menjelang pecahnya Perang Dunia II, film ini menggambarkan pertemuan fiktif antara Sigmund Freud (Anthony Hopkins), seorang psikoanalis ternama yang berusia 83 tahun, dengan C.S. Lewis (Matthew Goode), seorang profesor dan penulis yang baru saja menemukan kembali imannya pada Kristen. Freud, yang tengah menderita kanker mulut dan telah mengungsi ke London untuk menghindari rezim Nazi, mengundang Lewis ke rumahnya untuk sebuah diskusi mendalam tentang eksistensi Tuhan.

Percakapan mereka tidak hanya berfokus pada argumen teologis dan filosofis, tetapi juga menyentuh pengalaman pribadi yang membentuk pandangan hidup masing-masing. Lewis, sebagai veteran Perang Dunia I, berbagi tentang trauma dan perjalanan spiritualnya, sementara Freud mengungkapkan pandangannya yang skeptis terhadap agama, dipengaruhi oleh latar belakangnya dan penderitaan yang dialaminya. Selain itu, hubungan Freud dengan putrinya, Anna (Liv Lisa Fries), dan dinamika antara Lewis dengan Janie Moore (Orla Brady), ibu dari sahabat perangnya, turut mewarnai narasi, memberikan kedalaman pada karakter dan memperkaya diskusi mereka.

Sutradara Matthew Brown menghidupkan naskah karya Mark St. Germain dengan pendekatan yang menghormati kompleksitas tema yang diangkat. Penggunaan latar waktu menjelang Perang Dunia II bukan hanya sebagai setting historis, tetapi juga sebagai simbol ketegangan antara kehancuran dan harapan, mencerminkan dualitas dalam perdebatan antara Freud dan Lewis.

Anthony Hopkins, dalam perannya sebagai Freud, menampilkan karakter yang penuh dengan skeptisisme tajam namun rentan karena penyakit yang dideritanya. Matthew Goode, sebagai Lewis, memancarkan semangat dan keyakinan yang kontras dengan keraguan Freud. Interaksi mereka di layar menciptakan dinamika yang intens, memperlihatkan benturan antara dua pandangan dunia yang berbeda.

Penggunaan flashback dalam narasi berfungsi untuk mengungkap latar belakang emosional dan psikologis kedua tokoh, membantu penonton memahami akar dari keyakinan dan keraguan mereka. Misalnya, kilas balik ke masa perang yang dialami Lewis memberikan konteks pada trauma yang mempengaruhi pandangannya tentang iman dan penderitaan.

Film ini kaya akan simbolisme yang mendalam. Ruangan kerja Freud, dengan sofa psikoanalisis yang ikonik, menjadi pusat dari perdebatan intelektual, melambangkan ruang introspeksi dan analisis diri. Kondisi fisik Freud yang memburuk, akibat kanker mulut, tidak hanya menggambarkan kefanaan manusia tetapi juga menjadi metafora bagi keterbatasan rasionalitas dalam menghadapi misteri eksistensi.

Selain itu, kehadiran Anna Freud dan hubungannya dengan Dorothy Burlingham (Jodi Balfour) menyoroti isu-isu tentang identitas, orientasi seksual, dan dinamika keluarga, yang pada masanya dianggap tabu. Ini menambah lapisan kompleksitas pada narasi, mengajak penonton merenungkan bagaimana konteks sosial dan budaya mempengaruhi pandangan individu terhadap diri dan orang lain.

Freud’s Last Session bukan sekadar film tentang perdebatan teologis; ia mengajak penonton untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang makna hidup, penderitaan, dan pencarian kebenaran. Melalui dialog yang cerdas dan penampilan akting yang kuat, film ini menantang kita untuk mempertimbangkan kembali keyakinan dan asumsi kita sendiri.

Sutradara Matthew Brown menyatakan, “Tujuan kami adalah menghadirkan dialog yang tidak hanya mencerminkan perbedaan pandangan antara Freud dan Lewis, tetapi juga menggali kedalaman emosi dan pengalaman yang membentuk keyakinan mereka.” Pernyataan ini tercermin dalam cara film menggabungkan diskusi filosofis dengan eksplorasi karakter yang mendalam, menciptakan narasi yang kaya dan memikat.

Freud’s Last Session meninggalkan penonton dengan pertanyaan yang menggantung: Apakah jawaban atas misteri eksistensi dapat ditemukan melalui rasionalitas semata, ataukah ada ruang bagi iman dalam memahami makna hidup? Film ini tidak menawarkan jawaban pasti, melainkan mendorong kita untuk terus mencari dan merenungkan, mengakui bahwa dalam ketidakpastian itulah terletak esensi dari pengalaman manusia.

Dengan mengangkat tema-tema yang abadi dan relevan, Freud’s Last Session menjadi karya yang tidak hanya menghibur, tetapi juga menginspirasi diskusi dan refleksi mendalam tentang posisi kita di antara sains dan spiritualitas, rasionalitas dan iman


Anda mungkin suka:


Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *