ULASAN FILM

“Sharp Corner”: Ketika Hasrat Menyelamatkan Menjadi Obsesi yang Menghancurkan


menit

menit

/

Dalam Sharp Corner (2025), sutradara Jason Buxton membingkai sebuah kisah kontemporer tentang obsesi, trauma, dan harga dari niat baik yang tidak terkendali. Film ini mengikuti pasangan Josh (Ben Foster) dan Rachel McCall (Cobie Smulders), yang bersama putra kecil mereka, Max, pindah ke rumah tua di pedesaan Nova Scotia. Lingkungan baru itu tampak seperti tempat sempurna untuk memulai hidup baru–hingga mereka menyadari bahwa rumah mereka terletak di sisi tikungan jalan yang sering memakan korban jiwa. Tak lama setelah mereka menempati rumah, sebuah mobil terguling di depan halaman mereka. Josh, yang pertama kali turun tangan, menyelamatkan seorang remaja dari reruntuhan. Peristiwa itu, alih-alih ditinggalkan sebagai kenangan traumatis, justru menjadi titik balik dari perubahan mendalam dalam dirinya.

Apa yang bermula sebagai rasa tanggung jawab dan empati perlahan berubah menjadi obsesi yang membingungkan. Josh mulai menghadiri pelatihan medis, memasang sistem pengawasan di sekitar tikungan, bahkan menyusun rencana untuk ‘merespons’ kecelakaan yang belum terjadi. Ia secara teratur memeriksa lokasi, menyiapkan ransel pertolongan pertama, dan menyisihkan waktu kerja demi berjaga-jaga. Ia seperti menjadikan penderitaan orang lain sebagai panggilan hidupnya sendiri. Rachel awalnya memahami, bahkan bangga pada kepekaan suaminya. Namun, seiring waktu, ia melihat suaminya semakin menjauh, seolah-olah menemukan makna baru yang tak melibatkan keluarganya.

Sementara itu, Max–yang menyaksikan kecelakaan pertama dan reaksi intens ayahnya–mulai mengalami gangguan tidur dan menciptakan ulang skenario kecelakaan dengan mainan-mainan mobilnya. Anak kecil ini menjadi penonton bisu dari kegilaan yang perlahan menggerogoti keluarganya. Rachel mencoba menjaga kestabilan rumah, tetapi mulai tergoda untuk meninggalkan segalanya demi keselamatan putranya. Ketegangan emosional semakin memuncak ketika Josh mulai menghadiri pemakaman korban-korban kecelakaan dan memperlakukan lokasi kecelakaan sebagai semacam altar pribadi. Baginya, rasa kehilangan orang lain telah menjadi bahan bakar untuk membangun kembali harga dirinya yang rapuh.

Dalam puncaknya yang menyesakkan, Sharp Corner menempatkan penonton dalam situasi genting di mana Josh harus memilih antara keluarganya dan fantasi heroik yang ia ciptakan sendiri. Ketika tragedi yang sebenarnya datang menghantam lebih dekat daripada sebelumnya, semua lapisan niat baik dan moralitas mulai runtuh. Film ini tidak memberikan jawaban mudah–justru sebaliknya, menyisakan kebingungan yang menohok tentang apa arti sesungguhnya dari “menolong” dan apakah cinta tanpa kendali bisa menjadi bentuk lain dari kekerasan emosional.

Jason Buxton, yang sebelumnya dikenal lewat film Blackbird, mengangkat tema ini dari pengalaman pribadinya sebagai orang tua yang menyaksikan ketakutan anaknya terhadap kematian. “Aku melihat bagaimana rasa takut bisa membentuk cara kita menafsirkan dunia,” ujarnya dalam sesi Q&A di TIFF 2025. Dengan menggabungkan unsur psikologis dan ketegangan domestik, ia menciptakan karakter Josh sebagai arketipe laki-laki modern yang bergulat antara hasrat untuk ‘berdaya guna’ dan kehilangan kontrol. Pemilihan Ben Foster terbukti jitu; wajahnya yang tegas namun rapuh memberikan kedalaman pada karakter Josh–seseorang yang tampak ‘biasa’, tapi perlahan berubah menjadi asing bagi dirinya sendiri dan keluarganya.

Cobie Smulders, dalam peran yang jarang ia dapatkan, membawakan Rachel dengan lapisan emosi yang tajam–tak hanya sebagai istri, tapi juga sebagai saksi dan korban dari cinta yang berubah bentuk. Beberapa kritikus menyebut penampilannya sebagai karier-defining, dan kemungkinan besar akan membawa namanya ke jajaran nominasi aktris terbaik di musim penghargaan mendatang. Skor musik dari Stephen McKeon menambah atmosfer mengganggu, sementara sinematografi oleh Guy Godfree membuat bentang alam Nova Scotia terasa sunyi sekaligus mengancam–sebuah paradoks visual yang mencerminkan kondisi batin Josh.

Apa yang membuat Sharp Corner mencolok bukan hanya karena bangunan dramanya yang intens, tetapi karena ia menggali sesuatu yang sangat manusiawi: kebutuhan akan makna. Film ini mengajak kita merenung–berapa banyak dari kita yang menyamaratakan tindakan mulia dengan keinginan untuk dikenang? Dalam masyarakat yang menyanjung kepahlawanan, adakah ruang untuk menimbang bahwa terkadang, keinginan menolong bukan berasal dari cinta, tapi dari keputusasaan?

Ketika tirai akhir ditutup dan layar menghitam, kita dibiarkan dengan satu bayangan terakhir: Josh berdiri di tengah tikungan itu, sendirian, menunggu sesuatu yang mungkin tidak pernah datang. Tidak ada lampu sirine, tidak ada ledakan emosi, hanya kesunyian dan jalan yang terus berkelok. Dan mungkin, di sanalah letak tragedi sebenarnya.


Anda mungkin suka:


Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *